CEDERA
KEPALA
I.
PENDAHULUAN
Lebih
dari 2 juta kasus cedera kepala terjadi setiap tahun di Amerika Serikat;
kira-kira 1,5 juta kasus adalah cedera kepala ringan dan 500.000 kasus adalah
cedera kepala berat yang memerlukan hospitalisasi. Kira-kira 120.000 kasus dlklasifikasikan
sebagai cedera kepala berat dan kira-kira setengah dari manusia meninggal
sebelum tiba di rumah sakit.kecelakaan sepeda motor terhitung 50% dari seluruh
penyebab cedera kepala; jatuh 21%, serangan dan kekerasan12%, olahraga dan
rekreasi 10%. Insiden tertinggi cedera kepala terjadi pada manusia rentang umur
15-24 tahun, dengan kejadian laki-laki lebih besar 2-3 kali lipat dibandingkan
pada wanita. Kejadian tertinggi kedua terjadi pada lansia. Yang selamat dari
cedera kepala 70.000-90.000 orang akan memiliki kehilangan fungsi seumur hidup
yang serius, 5.000 orang akan mengalami kejang dan 2.000 orang akan dalam
keadaan hidup yang penuh dengan semangat. Biaya untuk perawatan dan pemulihan
dari satu kejadian cedera kepala hingga 310.000 USD berdasarkan pada tahun
1990; ini tidak mencerminkan untuk perawatan seumur hidup. Hilangnya
potensi manusia akan
berdampak pada fisik, fungsi psikososial, emosional, pekerjaan dan keluarga
adalah beragam dan sangat
efektif, sehingga menciptakan kebutuhan bagi banyak layanan kesehatan masyarakat.
Kematian
karena cedera kepala terbagi menjadi 3 fase ; segera ketika cedera, 2 jam
setelah cedera, dan 3 minggu setelah cedera. Kematian yang paling sering
terjadi adalah cedera yang terjadi segera setelah cedera, baik dari cedera
kepaaala langsung atau perdarahan massive bahkan syok.kematian yang terjadi 3
jam setelah trauma atau lebih setelah cedera dihasilkan dari kegagalan
multisystem. Asuhan keperawatan yang terbaik sangat penting untuk mengurangi
angka kematian. Factor-faktor yang mengakibatkan buruknya keadaan adalah
hemetema intra kranial, meningkatnya usia pasien, respon motoric yang abnormal,
kerusakan atau tidak adanya gerakan mata atau reflek pupil terhadap cahaya, hipotensi,
hipoksemia atau hiperkapnia level TIK lebih dari 20 mmHg.
Hasil statistic menyatakan kejadian
cedera kepala tidak lengkap dilaporkan karena banyak korban meninggal saat
krjadian atau karena tidak dilakukan perawawatan. Pada masa lalu, kecelakaan bermotor
dan terjatuh adalah penyebab cedera kepala yang sering terjadi baik di Canada
maupun Amerika Serikat. Penyebab lainnya adalah penyerangan, cedera yang
berhubungan dengan olahraga dan kecelakaan lain.
II.
DEFINISI
Menurut
Mansjoer (2000), cedera
kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta
organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital,
yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik,
kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat
kesadaran
Cidera
kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala
tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik
yang trauma tertutup maupun trauma tembus.
Cidera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di
samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya.
Cidera
kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat. Cidera
kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar
penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat
terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang
dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak
mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien
tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.
Cidera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cidera:
1. Mekanisme:
berdasarkan adanya penetrasi durameter
a. Trauma tumpul:
kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Taruma tembus:
(luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)
2. Keparahan cidera
a. Ringan : Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
14-15
b. Sedang : GCS 9 – 13
c. Berat : GCS 3 – 8
3. Morfologi
- Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum, depresi/non depresi, terbuka/tertutup. Basis: dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII.
- Lesi Intrakranial: Fokal, Epidural, Intraserebral Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.
Klasifikasi Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran atau responsivitas dikaji secara
teratur karena perubahan pada tingkat kesadaran mendahului semua perubahan
tanda vital dan neurologik lain.
a.
Kompos metis (GCS
14-15)
Suatu
keadaan sadar penuh atau kesadaran yang normal
b.
Somnolen (GCS
13-11)
Suatu
keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen
disebut juga letargi atau obtundasi. Somnolen ditandai dengan mudahnya klien
dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
c.
Sopor atau Stupor
(GCS 8-10)
Suatu
keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang
nyeri klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak
konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
d.
Koma ringan atau
semi koma (GCS 5-7)
Pada
keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil
dan sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap
rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban primitif. Klien sama sekali
tidak dapat dibangunkan.
e.
Koma (dalam atau
komplit) (GCS 3-4)
Tidak ada
gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang
bagaimanapun kuatnya.
Glasgow Coma Scale, yaitu
suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi
membuka mata (eye opening),
reaksi berbicara (verbal respons)
dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor
respons).
Glasgow Coma Scale (GCS) :
Respon
|
Nilai
|
a. Membuka mata
·
Spontan
·
Terhadap bicara
(Suruh
pasien membuka mata)
·
Dengan rangsang
nyeri
(Tekan pada saraf supraorbita atau kuku)
·
Tidak ada
reaksi
(Dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata)
|
4
3
2
1
|
b. Respon verbal
(bicara)
·
Baik dan tidak ada disorientasi
(Dapat
menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu dimana ia berada)
·
Kacau (confused)
(Dapat
bicara dengan kalimat, namun ada disorientasi waktu dan tempat)
·
Tidak tepat
(Dapat
mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat dan tidak tepat)
·
Mengerang
(Tidak
mengucapkan kata, hanya suara mengerang)
·
Tidak ada
jawaban
|
5
4
3
2
1
|
c. Respon motorik
(gerakan)
·
Menurut perintah
(Misalnya : suruh pasien angkat tangan)
·
Mengetahui lokasi nyeri
(Berikan
rangsang nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supraorbita. Bila oleh rasa
nyeri pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menapis
rangsang tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
·
Reaksi
menghindar
·
Reaksi Fleksi
(dekortikasi)
(Berikan
rangsang nyeri, misalnya menekan dengan objek keras, seperti bolpoint, pada
jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi
terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada atau tidak ada)
·
Reaksi ekstensi
(deserebarsi)
(Dengan
rangsang nyeri tersebut diatas terjadi ekstensi pada siku. Ini selalu
disertai fleksi spastik pada pergelangan tangan)
·
Tidak ada
reaksi
|
6
5
4
3
2
1
|
III.
ETIOLOGI
Menurut
Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera kepala adalah
karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1. Trauma Primer
Terjadi karena benturan
langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder
Terjadi
akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
IV.
PATOFISIOLOGI
Fungsi
otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak
hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20% dari curah jantung.
Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh
substansi kelabu.
Cedera
kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses
lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan
nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya
oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak
menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin
bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak
terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak
akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium,
foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.
Jika
terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik
sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian
(3).
Patofisiologi
cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma,
antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan
jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
- Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera
primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe
Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume
dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak.
Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang
progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal
pada tingkat seluler.
Cedera
Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP
= MAP - ICP
CPP
: Cerebral Perfusion Pressure
MAP
: Mean Arterial Pressure
ICP
: Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP
kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema
sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh
kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang, dll.
- Edema Sitotoksik
Kerusakan
jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang
menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA
melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat
Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi
enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
- Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca
influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA,
protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP
cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa
fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).
Melalui
rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang
menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
- Apoptosis
Sinyal
kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi
kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan
mengkerut (shrinkage).
Trauma Kepala
Gangguan
auto regulasi
TIK
meningkat Aliran
darah otak menurun
Edema otak Gangguan
metabolisme
Ü O2
menurun.
Ü CO2 meningkat.
Asam laktat meningkat
Metabolik anaerobik
V.
MANIFESTASI KLINIK
A. Gejala
Merasa lemah,
lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah atau normal perubahan
frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian, inkontenensia
kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah, dan mengalami
perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope,
tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan,
sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru karena
kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
B.
Tanda
Cidera
kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:
|
|
VI.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
- CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic,
ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.
- Foto tengkorak atau cranium
Untuk mengetahui adanya fraktur pada
tengkorak.
- MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang
mempergunakan gelombang elektomagnetik.
- Laboratorium
Kimia darah: mengetahui
ketidakseimbangan elektrolit.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi
keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
- Cerebral Angiography:
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
- Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
- X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
- BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
- PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
- CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
- ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
VII.
PENATALAKSANAAN MEDIK
Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan cedera kepala adalah
:
A. Cedera Kepala Ringan
Pasien
dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu
dilakukan CT-Scan bila memenuhi kriteria berikut :
1. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental
dan gaya berjalan) dalam batas normal.
2. Foto servikal jelas normal
3. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien
24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat
jika timbul gejala yang lebih buruk.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
1. Adanya perdarahan intrakranial atau fraktur yang tampak pada
CT Scan.
2. Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3. Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
4. Intoksikasi obat atau alcohol
5. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
6. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati
pasien di rumah.
B. Cedera Kepala Sedang
Pasien
yang menderita konkusi otak (comotio cerebri), dengan skala GCS 15 (sadar
penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi
intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
C. Cedera Kepala Berat
Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital,keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang
besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasikan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat sebaiknya perawatan
dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan
untuk kerusakan primer akibat cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat mengurangi
kerusakan otaksekunder akibat hipoksia, hipertensi, atau tekanan intrakranial
yang meningkat.
Dalam unit rawat intensif dapat
dilakukan hal-hal berikut :
1.
Penilaian ulang
jalan nafas dan ventilasi
2.
Monitor tekanan
darah
3.
Pemasangan alat
monitor tekanan intraktranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
4.
Penatalaksanaan
cairan : hanya larutan isotonis (salin normal dan ringer laktat)
5.
Nutrisi
6.
Temperatur
badan
7.
Anti kejang
fenitoin 15 – 20 mg/kg BB bolus intravena
8.
Steroid
deksametason 10 mg intravena setiap 4 – 6 jam selama 48 – 72 jam
9.
Antibiotik
10. Pemeriksaan
Dapat
menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus dilakukan pemeriksaan
sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya untuk kepentingan medikolegal.
0 comments:
Post a Comment