Monday, November 17, 2014

LAPORAN PENDAHULUAN CKB (CEDERA KEPALA BERAT)



CEDERA KEPALA


I.      PENDAHULUAN
Lebih dari 2 juta kasus cedera kepala terjadi setiap tahun di Amerika Serikat; kira-kira 1,5 juta kasus adalah cedera kepala ringan dan 500.000 kasus adalah cedera kepala berat yang memerlukan hospitalisasi. Kira-kira 120.000 kasus dlklasifikasikan sebagai cedera kepala berat dan kira-kira setengah dari manusia meninggal sebelum tiba di rumah sakit.kecelakaan sepeda motor terhitung 50% dari seluruh penyebab cedera kepala; jatuh 21%, serangan dan kekerasan12%, olahraga dan rekreasi 10%. Insiden tertinggi cedera kepala terjadi pada manusia rentang umur 15-24 tahun, dengan kejadian laki-laki lebih besar 2-3 kali lipat dibandingkan pada wanita. Kejadian tertinggi kedua terjadi pada lansia. Yang selamat dari cedera kepala 70.000-90.000 orang akan memiliki kehilangan fungsi seumur hidup yang serius, 5.000 orang akan mengalami kejang dan 2.000 orang akan dalam keadaan hidup yang penuh dengan semangat. Biaya untuk perawatan dan pemulihan dari satu kejadian cedera kepala hingga 310.000 USD berdasarkan pada tahun 1990; ini tidak mencerminkan untuk perawatan seumur hidup. Hilangnya potensi manusia akan berdampak pada fisik, fungsi psikososial, emosional, pekerjaan dan keluarga adalah beragam dan sangat efektif, sehingga menciptakan kebutuhan bagi banyak layanan kesehatan masyarakat.
Kematian karena cedera kepala terbagi menjadi 3 fase ; segera ketika cedera, 2 jam setelah cedera, dan 3 minggu setelah cedera. Kematian yang paling sering terjadi adalah cedera yang terjadi segera setelah cedera, baik dari cedera kepaaala langsung atau perdarahan massive bahkan syok.kematian yang terjadi 3 jam setelah trauma atau lebih setelah cedera dihasilkan dari kegagalan multisystem. Asuhan keperawatan yang terbaik sangat penting untuk mengurangi angka kematian. Factor-faktor yang mengakibatkan buruknya keadaan adalah hemetema intra kranial, meningkatnya usia pasien, respon motoric yang abnormal, kerusakan atau tidak adanya gerakan mata atau reflek pupil terhadap cahaya, hipotensi, hipoksemia atau hiperkapnia level TIK lebih dari 20 mmHg.
Hasil statistic menyatakan kejadian cedera kepala tidak lengkap dilaporkan karena banyak korban meninggal saat krjadian atau karena tidak dilakukan perawawatan. Pada masa lalu, kecelakaan bermotor dan terjatuh adalah penyebab cedera kepala yang sering terjadi baik di Canada maupun Amerika Serikat. Penyebab lainnya adalah penyerangan, cedera yang berhubungan dengan olahraga dan kecelakaan lain.
II.      DEFINISI
Menurut Mansjoer (2000), cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran
Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus.
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya.
Cidera kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat. Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.
Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cidera:
1.  Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter
a.    Trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b.    Taruma tembus: (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)
2.  Keparahan cidera
a.    Ringan       : Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
b.    Sedang      : GCS 9 – 13
c.    Berat          : GCS 3 – 8
3.  Morfologi
  1. Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum, depresi/non depresi, terbuka/tertutup. Basis: dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII.
  2. Lesi Intrakranial: Fokal, Epidural, Intraserebral Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.
Klasifikasi  Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran atau responsivitas dikaji secara teratur karena perubahan pada tingkat kesadaran mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain.
a.      Kompos metis (GCS 14-15)
Suatu keadaan sadar penuh atau kesadaran yang normal
b.      Somnolen (GCS 13-11)
Suatu keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga letargi atau obtundasi. Somnolen ditandai dengan mudahnya klien dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
c.      Sopor atau Stupor (GCS 8-10)
Suatu keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
d.      Koma ringan atau semi koma (GCS 5-7)
Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil dan sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban  primitif. Klien sama sekali tidak dapat dibangunkan.
e.      Koma (dalam atau komplit) (GCS 3-4)
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons) dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons).





Glasgow Coma Scale (GCS) :
Respon
Nilai
a.    Membuka mata
·         Spontan
·         Terhadap bicara
(Suruh pasien membuka mata)
·         Dengan rangsang nyeri
(Tekan pada saraf supraorbita atau kuku)
·         Tidak ada reaksi
(Dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata)


4
3

2

1
b.    Respon verbal (bicara)
·          Baik dan tidak ada disorientasi
(Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu dimana ia berada)
·          Kacau (confused)
(Dapat bicara dengan kalimat, namun ada disorientasi waktu dan tempat)
·         Tidak tepat
(Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat dan tidak tepat)
·         Mengerang
(Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang)
·         Tidak ada jawaban


5


4


3


2


1
c.    Respon motorik (gerakan)
·                               Menurut perintah
(Misalnya : suruh pasien angkat tangan)
·                               Mengetahui lokasi nyeri
(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menapis rangsang tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
·                              Reaksi menghindar
·                              Reaksi Fleksi (dekortikasi)
(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan objek keras, seperti bolpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada atau tidak ada)
·                              Reaksi ekstensi (deserebarsi)
(Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastik pada pergelangan tangan)
·                              Tidak ada reaksi


6

5





4
3






2


1

III.      ETIOLOGI
Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera kepala adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1.  Trauma Primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
2.   Trauma Sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
IV.      PATOFISIOLOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20% dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
  1. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
  1. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
  1. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
  1. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
Trauma  Kepala
Gangguan auto regulasi
                                       TIK meningkat                                         Aliran darah otak menurun
 
                                    Edema otak                                                    Gangguan metabolisme
Ü  O2 menurun.
Ü  CO2 meningkat.
                                Asam laktat meningkat
                                                               Metabolik anaerobik
V.      MANIFESTASI KLINIK
A.     Gejala
Merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah atau normal perubahan frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian, inkontenensia kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan, sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru karena kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
B.     Tanda
Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:
  1. Perubahan kesadaran
  2. Depresi
  3. Latergi
  4. Muntah (mungkin proyektif)
  5. Ataksia atau cara berjalan tidak tetap
  6. Gangguan menelan
  7. Perubahan kesadaran sampai koma
  8. Cidera orthopedic
  9. Kehilangan tonus otot
  10. Perubahan status mental
  11. Cemas
  12. Perubahan pupil
  13. Mudah tersinggung
  14. Kehilangan penginderaan
  15. Delirium (suatu kondisi dimana kesadaran menjadi kabur dan disertai ilusi atau halusinasi)
  16. Kejang

  1. Kehilangan sensasi sebagian tubuh
  2. Agitasi
  3. Wajah menyeringai
  4. Bingung
  5. Respon menarik pada rangsang
  6. Perubahan pola nafas
  7. Nyeri yang hebat
  8. Nafas bunyi rochi
  9. Gelisah
  10. Fraktur atau dislokasi
  11. Gangguan rentang gerak
  12. Gangguan penglihatan
  13. Gangguan dalam regulasi suhu tubuh
  14. Gangguan kognitif
  15. Afasia motoris atau sensoris
  16. Bicara tanpa arti disartria anomia

                                                                                                                                    
VI.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
  1. CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.
  1. Foto tengkorak atau cranium
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
  1. MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang elektomagnetik.
  1.  Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
  1. Cerebral Angiography:
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
  1. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
  2. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
  3. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
  4. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
  5. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
  6. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
VII.      PENATALAKSANAAN MEDIK
Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan cedera kepala adalah :
A.   Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan CT-Scan bila memenuhi kriteria berikut :
1.    Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal.
2.    Foto servikal jelas normal
3.    Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala yang lebih buruk.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
1.    Adanya perdarahan intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan.
2.    Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3.    Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
4.    Intoksikasi obat atau alcohol
5.    Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
6.    Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.

B.  Cedera Kepala Sedang
              Pasien yang menderita konkusi otak (comotio cerebri), dengan skala GCS 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
C.  Cedera Kepala Berat
Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital,keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah  saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasikan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat sebaiknya perawatan dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat mengurangi kerusakan otaksekunder akibat hipoksia, hipertensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
Dalam unit rawat intensif dapat dilakukan hal-hal berikut :
1.    Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi
2.    Monitor tekanan darah
3.    Pemasangan alat monitor tekanan intraktranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
4.    Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal dan ringer laktat)
5.    Nutrisi
6.    Temperatur badan
7.    Anti kejang fenitoin 15 – 20 mg/kg BB bolus intravena
8.    Steroid deksametason 10 mg intravena setiap 4 – 6 jam selama 48 – 72 jam
9.    Antibiotik
10.  Pemeriksaan
      Dapat menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus dilakukan pemeriksaan sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya untuk kepentingan medikolegal.





LAPORAN PENDAHULUAN CKB (CEDERA KEPALA BERAT) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Artikasari Pangestuti

0 comments:

Post a Comment